Subscribe

Popular Posts

Flickr Images

Like us on Facebook

Skip to main content

40 Harinya Bapak

Waktu berlalu begitu saja. Usia juga, ada ujungnya. Baru-baru ini dialami sama bapakku. Habis sudah, lengkap masa hidupnya, seperti lagu Putih yang dikumandangkan Efek Rumah Kaca.
Siap disajikan bersama sego berkatan
Tanggal 17 Agustus 2018 selain diperingati sebagai Dirgahayu Republik Indonesia ke-73, di rumahku juga sedang sibuk-sibuknya mempersiapkan tahlilan 40 harinya bapak, ba'da magrib. Beberapa hari sebelumnya pun juga sedikit-sedikit sudah mempersiapkan macam-macam kebutuhan malam itu. Di 40 harinya bapak ini segala aneka makanan dimasak untuk disuguhkan dan dijadikan berkat tahlilan, ada Rawon, Krupuk, Kue basah, dan yang paling suka : Mie. Mie yang dimasak saat slametan begini sangat aku suka. Jauh melebihi mie instan atau mie pedas yang banyak dijajakan di kota-kota. Rasanya lebih gurih dan bisa makan banyak, sebanyak yang aku mau tentunya. Tentang makanan masih banyak yang bisa diceritakan, apa lagi makanan atau kue/jajanan tradisional. Mungkinlain kali bisa jadi blog post tersendiri.

Sedikit cerita tentang keberangkatan bapakku. Malam itu, kira-kira satu bulan setelah lebaran idul fitri, sepulang menghadiri walimatul ursy di rumah tetanggaku yang mau menikah, aku bergegas ke Rumah Sakit tempat bapakku dirawat. Di Rumah Sakit sudah ada Ibu dan Mbakku. Di sana aku masih sempat berjumpa dan makan sego berkatan di sebelah ranjang bapak berbaring. Sehabis makan aku diminta Mbakku pulang lagi untuk mengamil Al-Qur'an dan mengajak tentangga ke Rumah Sakit juga. Aku pun pulang.



Tidak lama aku buru-buru kembali ke Rumah Sakit. Sesampainya di Rumah Sakit, di depan pintu kamar bapak dirawat, sorang perawat tergopoh keluar dan di dalam sudah ada dua perawat lainnya dengan alat monitor pendeteksi kehidupan, entah apa lah itu. Dari luar aku penasaran, lho ada apa ini? Saat aku masuk, seperti yang sudah ditebak. Bapak sudah mangkat. Dan begitulah waktu terjadi dan berlalu. Malam itu aku pulang naik ambulan. Lagu Putih ERK terngiang di telinga, berulang seperti repeated play list.

Malam itu juga bapakku dimakamkan, banyak pengalaman pertama aku alami malam itu. Memandikan tubuh bapak dengan bimbingan Wak Moden dan yang berpengalaman, menggotong keranda ke kuburan, dan yang paling memorable; masuk ke liang lahat, membaringkan tubuh bapak, mengendorkan tali pengikat kafan, mengganjal tubuh bapak dengan bola-bola yang dibuat dari tanah liat, terakhir mengumandangkan adzan dari dalam galian tanah kubur.

Grosak-gruduk suara tanah, pasir dan kerikil bertumbuk dengan blabak yang dikubur bersama jenazah bapak. Setelah tanah menggunduk, Wak Moden mengambil alih, semuanya mendengarkan dengan khidmat.

Ojo gopoh ojo gumeter... Wak Moden mulai memberikan bimbingan singkat tentang pertanyaan dari malaikat dan apa yang harus dijawab. Kemudian dilanjutkan do'a-do'a.

Besoknya hingga tujuh hari kemudian banyak kerabat dan kolega datang berbela sungkawa ke rumah.

Sepeninggal bapak ada hal yang membuatku bangga dan harus belajar darinya. Ternyata bapakku ini tertib, atau lebih ringkasnya tertib dalam menata surat-surat atau segala macam berkas. Baru aku ketahui setelah rekan-rekan bapak datang ke rumah untuk tahlil singkat. Setelah tahlil kami ngobrol tentang berkas-berkas yang mungkin ditinggalkan tentang sekolah dan yayasan tempat bapak bekerja dulu. Setelah menceritakan tentang apa saja yang mungkin dicari oleh teman bapak. Aku masuk ke dalam rumah, ke tempat di mana biasanya buku dan surat-surat diletakkan. Aku ambil beberapa map. Setelah dibuka dan dibaca tulisannya ternyata benar, itu semua yang dari tadi dibicarakan, SK, Akta Tanah, Kwitansi, Surat hibah, dan lainnya tertata masing-masing dalam map besar. Bahkan ada uang dalam amplop juga yang sudah diberi nama dan kode. Saat itu aku akan tahu semua. Betapa rapihnya. Sehingga ketika dibutuhkan seperti ini tidak perlu repot mencarinya. Mudah ditemukan begitu saja.
Masak-memasak di dapur.
Menggoreng Tahu.
Sekarang setelah 40 hari berlalu, aku bisa menikmati makanan yang dimasak untuk tahlilan tidak hanya dengan rasa enak dan gurih tapi juga dengan rasa bangga.

Comments